Menurut
American Psychiatric Association,
dalam DSM-5, enuresis dapat diartikan sebagai berulang kali mengeluarkan urin
di tempat yang tidak seharusnya. Usia minimal yang diperlukan untuk diagnosa
ini terutama berdasarkan usia perkembangan, tidak hanya usia kronologis (chronological age).
Berikut adalah kriteria diagnostik Enuresis:
A.
Berulang kali
mengeluarkan urin di tempat tidur atau pakaian, secara tidak sadar maupun
dengan disengaja.
B.
Perilaku
signifikan secara klinis, terlihat dari frekuensi, yaitu minimal tiga kali
seminggu selama minimal 3 bulan berturut-turut, atau kehadiran distress yang signifikan secara klinis
atau kerusakan dalam area sosial, akademik (pekerjaan), atau area penting
lainnya.
C.
Usia kronologis
minimal 5 tahun (atau setara tingkat perkembangan usia 5 tahun).
D.
Perilaku tidak
diakibatkan oleh efek fisiologis dari zat kimia (seperti diuretic, obat antipsychotic)
atau kondisi medis lainnya (seperti diabetes, spina bifida, seizure disorder).
Enuresis dispesifikkan menjadi:
-
Nocturnal only:
pengeluaran urin hanya selama tidur di malam hari. Biasanya terjadi pada
sepertiga malam pertama.
-
Diurnal only:
pengeluaran urin selama jam-jam terjaga.
-
Nocturnal and diurnal: kombinasi kedua subtype
di atas.
Enuresis dibagi menjadi 2 tipe, yaitu:
1. “Primary”
type, yaitu
individu belum pernah bisa mengendalikan pengeluaran urin secara baik.
2. “Secondary”
type, yaitu gangguan berkembang setelah ada masa dimana
anak dapat mengendalikan pengeluaran urinnya dengan baik.
Dampak dari enuresis tergantung pada 3 hal yang berkaitan
dengan kondisi tersebut, yaitu (1) kesulitan
untuk berpartisipasi dalam aktivitas sosial, misalnya menginap di rumah teman,
(2) dampak pada self-esteem,
termasuk bagaimana sikap anak-anak lain terhadap
permasalahan mengompol anak, (3) reaksi orang tua, termasuk hukuman dan
penolakan (Houts, 2003, dikutip dari Mash & Wolfe, 2010). Namun kebanyakan
dari anak - anak yang mengompol dapat menjalin relasi sosial dengan baik
meskipun terkadang mengalami rasa malu dan kecemasan.
Etiologi
1.
Faktor Biologis
Enuresis dapat disebabkan
oleh masalah medis, misalnya kelainan pada kandung kemih yang menyebabkan
ketidakmampuan untuk mengosongkan kandung kemih tersebut, penyakit (seperti
diabetes insipidus atau infeksi system urin), dan obat-obatan (seperti
duiretik) (Wenar & Kerig, 2005).
Selain itu, genetis
memberikan kontribusi yang kuat pada enuresis (Mikkelsen, 2001 dalam Schroeder
& Gordon, 2002). Apabila kedua
orang tua mengompol, maka 77% dari anak mereka juga mengompol. Apabila salah satu orang tua mengompol, maka 44%
dari anak mereka mengompol. Jika kedua orang tua tidak mengompol, maka kemungkinan 15% anak mereka
mengompol.
Menurut Walker (1995 dalam Schroeder
& Gordon, 2002), anak yang mengalami enuresis
akan cenderung berhenti mengompol pada usia yang sama dengan keluarganya yang
lebih tua ketika berhenti mengompol.
Penelitian lain menunjukkan
bahwa beberapa anak yang mengalami enuresis memiliki produksi urin yang
berlebihan pada malam hari, kapasitas kandung kemih yang kecil, atau kombinasi
dari keduanya (Readett, Morris, & Sergeant, 1990 dalam Schroeder &
Gordon, 2002).
2.
Faktor Emosional
Enuresis merupakan hasil
dari disfungsi emosi dasar, konflik psikologis, atau kecemasan (Pierce, 1971
dalam Schroeder & Gordon, 2002), atau beberapa stressor psikososial
spesifik lainnya. Kebanyakan anak yang mengalami enuresis tidak memiliki
masalah emosional atau perilaku. Meskipun enuresis lebih sering terjadi pada
anak yang memiliki gangguan emosi, namun kebanyakan anak yang terganggu secara
emosi bukanlah anak yang mengalami enuresis.
Enuresis tidak diasosiasikan
dengan gangguan tertentu, tetapi biasanya masalah yang dicatat mencakup
kecemasan, konflik keluarga, immaturity,
dan ADHD. Stres yang terjadi selama usia 2-4 tahun, ketika anak sedang dalam
proses toilet training atau baru saja
selesai toilet training, dapat
menghasilkan toilet training yang
tidak selesai, sehinngga menyebabkan enuresis.
3.
Faktor Pembelajaran
Kurangnya pembiasaan,
pengalaman belajar yang tidak tepat, dan reinforcement
yang tidak sesuai dapat menghasilkan kegagalan untuk belajar mengontrol reflex urination yang kompleks. (Schroeder
& Gordon, 2002)
4.
Faktor Individu
Sekelompok kecil anak yang
mengalami enuresis merupakan anak
yang dependent dan tidak asertif,
memiliki low achievement and mastery motivation, dan masturbated frequently. (Wenar &
Kerig, 2005)
5.
Faktor Keluarga
Permissiveness, tuntutan berprestasi yang rendah, dan ketidakamanan ketika toilet training dapat berhubungan dengan
enuresis. (Wenar & Kerig, 2005)
Intervensi
Beberapa Behavioral Intervention yang dapat dilakukan untuk mengurangi atau menghilangan
enuresis diantaranya adalah sebagai
berikut.
1.
Waking, yaitu membangunkan anak
secara berkala dan mengantarkannya ke WC untuk buang air kecil.
2.
Reward
Systems, yaitu anak diberikan reward (misalnya bintang) setiap kali ia tidak mengompol dan
memperoleh reward tertentu setelah
memperoleh jumlah bintang tertentu (misalnya setelah memperoleh 10, 20, 35
bintang).
3.
Retention
Control Training, yaitu anak
diminta berusaha menahan buang air kecil selama periode waktu tertentu yang
bisa dilakukan anak, misalnya
1 menit, 3 menit, 5 menit, 8 menit, 10 menit.
4.
Daytime
Voiding Schedule, yaitu anak
diminta mencatat jadwal buang air kecilnya, sehingga dapat diperkirakan berapa
lama rentang anak buang air kecil dan dapat diperkirakan dengan lebih baik
rentang waktu untuk anak ke WC, terutama di malam hari.
American
Psychiatric Association. 2013. Diagnostic
and Statistical Manual of Mental
Disorder, Fifth Edition. Arlington, VA: American Psychiatric Association.
Schroeder. C. S., &
Gordon, B. N. 2002. Assessment and
Treatment of Childhood Problem: A Clinician’s Guide, Second Ed. New York:
The Guilford Press.
Wenar,
Charels & Kerig, Patricia.
2005. Developmental
Psychopathology from Infancy through Adolescence.
New York: McGraw-Hill.
Bandung, 26 Februari 2014
21:26 waktu laptopku