Wednesday, February 26, 2014

Enuresis

            Menurut American Psychiatric Association, dalam DSM-5, enuresis dapat diartikan sebagai berulang kali mengeluarkan urin di tempat yang tidak seharusnya. Usia minimal yang diperlukan untuk diagnosa ini terutama berdasarkan usia perkembangan, tidak hanya usia kronologis (chronological age).
Berikut adalah kriteria diagnostik Enuresis:
A.    Berulang kali mengeluarkan urin di tempat tidur atau pakaian, secara tidak sadar maupun dengan disengaja.
B.     Perilaku signifikan secara klinis, terlihat dari frekuensi, yaitu minimal tiga kali seminggu selama minimal 3 bulan berturut-turut, atau kehadiran distress yang signifikan secara klinis atau kerusakan dalam area sosial, akademik (pekerjaan), atau area penting lainnya.
C.     Usia kronologis minimal 5 tahun (atau setara tingkat perkembangan usia 5 tahun).
D.    Perilaku tidak diakibatkan oleh efek fisiologis dari zat kimia (seperti diuretic, obat antipsychotic) atau kondisi medis lainnya (seperti diabetes, spina bifida, seizure disorder).

Enuresis dispesifikkan menjadi:
-          Nocturnal only: pengeluaran urin hanya selama tidur di malam hari. Biasanya terjadi pada sepertiga malam pertama.
-          Diurnal only: pengeluaran urin selama jam-jam terjaga.
-          Nocturnal and diurnal: kombinasi kedua subtype di atas.

Enuresis dibagi menjadi 2 tipe, yaitu:
1.      “Primary” type, yaitu individu belum pernah bisa mengendalikan pengeluaran urin secara baik.
2.      “Secondary” type, yaitu gangguan berkembang setelah ada masa dimana anak dapat mengendalikan pengeluaran urinnya dengan baik.

Dampak dari enuresis tergantung pada 3 hal yang berkaitan dengan kondisi tersebut, yaitu (1) kesulitan untuk berpartisipasi dalam aktivitas sosial, misalnya menginap di rumah teman, (2) dampak pada self-esteem, termasuk bagaimana sikap anak-anak lain terhadap permasalahan mengompol anak, (3) reaksi orang tua, termasuk hukuman dan penolakan (Houts, 2003, dikutip dari Mash & Wolfe, 2010). Namun kebanyakan dari anak - anak yang mengompol dapat menjalin relasi sosial dengan baik meskipun terkadang mengalami rasa malu dan kecemasan.

Etiologi
1.      Faktor Biologis
Enuresis dapat disebabkan oleh masalah medis, misalnya kelainan pada kandung kemih yang menyebabkan ketidakmampuan untuk mengosongkan kandung kemih tersebut, penyakit (seperti diabetes insipidus atau infeksi system urin), dan obat-obatan (seperti duiretik) (Wenar & Kerig, 2005).
Selain itu, genetis memberikan kontribusi yang kuat pada enuresis (Mikkelsen, 2001 dalam Schroeder & Gordon, 2002). Apabila kedua orang tua mengompol, maka 77% dari anak mereka juga mengompol. Apabila salah satu orang tua mengompol, maka 44% dari anak mereka mengompol. Jika kedua orang tua tidak mengompol, maka kemungkinan 15% anak mereka mengompol.
Menurut Walker (1995 dalam Schroeder & Gordon, 2002), anak yang mengalami enuresis akan cenderung berhenti mengompol pada usia yang sama dengan keluarganya yang lebih tua ketika berhenti mengompol.
Penelitian lain menunjukkan bahwa beberapa anak yang mengalami enuresis memiliki produksi urin yang berlebihan pada malam hari, kapasitas kandung kemih yang kecil, atau kombinasi dari keduanya (Readett, Morris, & Sergeant, 1990 dalam Schroeder & Gordon, 2002).
2.      Faktor Emosional
Enuresis merupakan hasil dari disfungsi emosi dasar, konflik psikologis, atau kecemasan (Pierce, 1971 dalam Schroeder & Gordon, 2002), atau beberapa stressor psikososial spesifik lainnya. Kebanyakan anak yang mengalami enuresis tidak memiliki masalah emosional atau perilaku. Meskipun enuresis lebih sering terjadi pada anak yang memiliki gangguan emosi, namun kebanyakan anak yang terganggu secara emosi bukanlah anak yang mengalami enuresis.
Enuresis tidak diasosiasikan dengan gangguan tertentu, tetapi biasanya masalah yang dicatat mencakup kecemasan, konflik keluarga, immaturity, dan ADHD. Stres yang terjadi selama usia 2-4 tahun, ketika anak sedang dalam proses toilet training atau baru saja selesai toilet training, dapat menghasilkan toilet training yang tidak selesai, sehinngga menyebabkan enuresis.
3.      Faktor Pembelajaran
Kurangnya pembiasaan, pengalaman belajar yang tidak tepat, dan reinforcement yang tidak sesuai dapat menghasilkan kegagalan untuk belajar mengontrol reflex urination yang kompleks. (Schroeder & Gordon, 2002)
4.      Faktor Individu
Sekelompok kecil anak yang mengalami enuresis merupakan anak yang dependent dan tidak asertif, memiliki low achievement and mastery motivation, dan masturbated frequently. (Wenar & Kerig, 2005)
5.      Faktor Keluarga
Permissiveness, tuntutan berprestasi yang rendah, dan ketidakamanan ketika toilet training dapat berhubungan dengan enuresis. (Wenar & Kerig, 2005)

Intervensi
Beberapa Behavioral Intervention yang dapat dilakukan untuk mengurangi atau menghilangan enuresis diantaranya adalah sebagai berikut.
1.      Waking, yaitu membangunkan anak secara berkala dan mengantarkannya ke WC untuk buang air kecil.
2.      Reward Systems, yaitu anak diberikan reward (misalnya bintang) setiap kali ia tidak mengompol dan memperoleh reward tertentu setelah memperoleh jumlah bintang tertentu (misalnya setelah memperoleh 10, 20, 35 bintang).
3.      Retention Control Training, yaitu anak diminta berusaha menahan buang air kecil selama periode waktu tertentu yang bisa dilakukan anak, misalnya 1 menit, 3 menit, 5 menit, 8 menit, 10 menit.
4.      Daytime Voiding Schedule, yaitu anak diminta mencatat jadwal buang air kecilnya, sehingga dapat diperkirakan berapa lama rentang anak buang air kecil dan dapat diperkirakan dengan lebih baik rentang waktu untuk anak ke WC, terutama di malam hari.


Sumber:
American Psychiatric Association. 2013. Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder, Fifth Edition. Arlington, VA: American Psychiatric Association.
Schroeder. C. S., & Gordon, B. N. 2002. Assessment and Treatment of Childhood Problem: A Clinician’s Guide, Second Ed. New York: The Guilford Press.
Wenar, Charels & Kerig, Patricia. 2005.  Developmental Psychopathology from Infancy through Adolescence. New York: McGraw-Hill.


Bandung, 26 Februari 2014
21:26 waktu laptopku

Karakteristik Perkembangan Pada Masa Kanak-kanak Tengah

Masa kanak-kanak tengah dimulai dari usia 6-11 tahun, sering kali disebut dengan usia sekolah. Berikut adalah karakteristik perkembangan pada masa kanak-kanak tengah menurut Papalia et. al (2009).

Perkembangan Kognitif Pada Masa Kanak-kanak Tengah
·         Egosentris berkurang.
·         Anak-anak mulai berpikir logis tetapi konkret.
·         Ingatan dan keterampilan bahasa meningkat.
·        Kognintf yang sudah berkembang membuat anak mendapatkan manfaat dari sekolah formal.
·         Beberapa anak menunjukkan kebutuhan pendidikan khusus dan kekuatan khusus.
·         Anak memahami sebab dan akibat, seriasi, penalaran induktif.
·         Pemrosesan lebih dari satu tugas pada saat yang sama jadi lebih mudah.

Perkembangan Emosi
·         Anak menyadari rasa bangga atau malu mereka.

Perkambangan Psikososial
·       Permainan kekacauan dan kekasaran lazim pada anak laki-laki, sebagai cara untuk bersaing demi dominansi.
·         Konsep diri menjadi lebih kompleks, memengaruhi harga diri.
·         Coregulation mencerminkan peralihan yang perlahan-lahan dalam hal kontrol dari orang tua ke anak.
·         Teman-teman seusia menjadi penting.
·         Empati dan perilaku prososial meningkat.
·         Agresi, terutama jenis permusuhan berkurang.


Sumber: Papalia, Diane E., Olds, Sally Wendkos, and Feldman, Ruth Duskin. 2009. Human Development. (diterjemahkan oleh Brian Marswendy). Jakarta: Salemba Humanika


Bandung, 26 Februari 2014
21:22 waktu laptopku

Thursday, February 20, 2014

Berbagi Cerita, Membangun Inspirasi

Rabu, 19 Februari 2014 lalu, kami, tim relawan Kelas Inspirasi Bandung berbagi mengenai berbagai profesi yang dijalani kepada anak-anak SD. Saat itu, aku dan 10 orang lainnya mengisi di SDN Sukajadi 3, Bandung.

Berbagi dengan anak-anak SD ini memberikan pengalaman dan pembelajaran tersendiri. Cape secara fisik. Itu pasti. Bahkan, untuk orang yang terbiasa mengisi pelatihan dan pembelajaran orang dewasa indoor maupun outdoor seperti aku. Kemarin adalah kedua kalinya suaraku habis sebelum tugas mengisi kelas selesai. Pertama kalinya saat mengisi di PAUD saat KKN.

Kelas pertama yang kuisi adalah anak-anak kelas 2. Awalnya, mereka terlihat diam dan "kalem". 20 menit berikutnya, anak-anak aktif sekali dan butuh effort lebih untuk mengatur mereka. Hasilnya, keluar dari kelas 2, suaraku mulai habis. Kelas berikutnya adalah anak-anak kelas 5. Untungnya, mereka kooperatif, sehingga suara yang sangat minim itu masih dapat dimanfaatkan untuk berbagi bersama mereka. Kelas berikut adalah kelas 4. Kelas yang sangat aktif. Dengan ruang kelas yang sangat sempit, membuat anak-anak jadi semakin banyak bergerak. Butuh effort yang sangat bersar untuk mengelola kelas dengan suara yang sudah habis. Istirahat 20 menit setelah itu ternyata cukup membantu untuk mengembailkan suaraku, sehingga kelas 3 yang kuisi berikutnya dapat difasilitasi dengan lebih baik. Ditambah lagi dengan sangat kooperatifnya anak-anak dari kelas ini, sehingga lebih banyak pembelajaran yang bisa dibagi.



Secara psikologis, senang. Senang banget. Senang bisa bertemu anak-anak ini. Senang bisa saling berbagi dengan mereka. Senang bisa bekerja sama dengan tim yang saling support.

Tidak hanya membagi apa yang kumiliki. Aku justru mendapatkan lebih banyak hal dari anak-anak dan teman-teman sesama relawan. Tidak hanya mendapatkan pengalaman, tapi juga mendapatkan berbagai pembelajaran dan inspirasi.

Dari anak-anak, aku belajar bahwa sekarang mereka semakin berkembang. Cita-cita mereka tidak hanya terbatas pada dokter, guru, polisi, dan tentara seperti zamanku dulu. Mereka sudah mulai memiliki cita-cita yang beragam. Ada yang ingin menjadi pemain bola, uztad, astronot, dokter gigi, psikolog, psikiater. Bahkan, di kelas yang lebih tinggi, ada anak yang ingin menjaid arkeolog, sebuah profesi yang bahkan jarang didengar oleh orang-orang dewasa pada umumnya. Semakin tinggi tingkat pendidikan, semakin beragam pula cita-cita yang dimiliki.

Pelajaran dan inspirasi lain aku peroleh dari anak kelas 3 SD. Seorang perempuan yang ingin menjadi pemain bola. Meskipun ditertawakan oleh teman-temannya, ia tetap percaya diri berbagi mengenai cita-citanya tersebut. Ya, tidak sedikit orang yang memilih diam jika ia berbeda dengan yang lain. Namun, anak ini memilih untuk berbagi. Mengingatkanku untuk lebih percaya pada diriku sendiri. Mengingatkanku untuk tidak malu meskipun berbeda dari yang lain.

Bukankah perbedaan itu diciptakan untuk saling melengkapi? Hehe...
Berbeda bukan lebih buruk dari yang lain kan.. Bahkan, tidak jarang perbedaan dan keunikan itu yang menjadikan seseorang atau sesuatu menjadi lebih berarti.

Dari teman-teman relawan, baik yang menjadi inspirator, dokumenter, maupun panitia, aku belajar mengenai ketulusan. Ketulusan untuk saling berbagi. Banyak effort yang harus dikeluarkan untuk mengisi di hari inspirasi ini. Mulai dari persiapan, hari H, hingga penutupan yang berbentuk e-book laporan. Mulai dari fisik, waktu, finansial, dan effort lainnya. Tidak ada yang mengeluh. Tidak ada yang marah. Tidak ada yang menolak untuk melakukan sesuatu.

Teman-teman justru menawarkan dirinya. Menawarkan untuk membantu apa yang bisa mereka bantu. Ada yang menawarkan untuk menjadi ketua kelompok yang mengkoordinir kami semua. Ada yang menawarkan diri untuk membuat berbagai dekorasi. Ada yang menawarkan membawakan konsumsi untuk kita semua. Ada yang menawarkan untuk meminjamkan berbagai peralatan yang dimilikinya. Dan sebagainya.

Semuanya dilakukan di sela-sela kesibukan yang dimiliki. Sambil tetap melakukan aktivitas di profesi masing-masing.

Dari kelas inspirasi ini, aku pun belajar dan terinspirasi bahwa ternyata banyak sekali orang-orang yang peduli pada pendidikan di Indonesia. Banyak sekali orang-orang yang ingin anak-anak Indoensia lebih maju. Tidak hanya ingin, bahkan tidak sedikit dari mereka yang sudah membuat sesuatu.

Ada yang sudah membuat sekolah untuk anak-anak tidak mampu secara ekonomi. Ada yang membuat pelatihan bagi anak-anak yang memiliki kekurangan secara fisik. Ada yang membuat program untuk mempersiapkan anak-anak SMA ke Perguruan Tinggi. Dan banyak kegiatan sukarela lainnya yang telah mereka lakukan.

Kegiatan Kelas Inspirasi ini memberikanku banyak pengalaman, pembelajaran, serta inspirasi. Tidak hanya saling berbagi cerita dengan anak-anak dan teman-teman relawan, tetapi juga membangun inspirasi dari mereka.

Terima kasih untuk kesempatannya.
Terima kasih atas kerja samanya.
Terima kasih atas pengalaman, pembelajaran, serta inspirasi yang justru lebih banyak aku dapatkan daripada yang aku berikan..

Terima kasih untuk semuanya... ^_^

Bandung, 20 Februari 2014
13.44 waktu laptopku

_Vani_